Hayata

Pertama kalinya bertemu dengan Aya. Dia seorang gadis yang manis, duduk di bangku halte. “Hayata!” Aku suka mengulang-ulang menyebut nama itu. Dia mendongakkan kepalanya menghadap langit, matanya tertutup rapat, sesaat kemudian nampak bibirnya menyunggingkan sebuah senyuman. Kemudian sesekali tangannya bergerak mengayun naik turun seperti seorang dirigen. Semakin dekat, kulihat senyumnya semakin melebar. Seperti seseorang yang tak sanggup menahan kebahagiaan. Tetapi matanya juga masih tertutup. Kepalanya menengadah ke langit seperti berdoa. Lalu saja kedua tangannya berhenti bergerak, senyumnya sedikit memudar, tepat ketika aku duduk tepat di sampingnya. Matanya terbuka perlahan-lahan, seperti dandelion yang berterbangan. Kepalanya yang menengadah perlahan mengarah padaku, disusul kedua bola matanya. Putih! Matanya begitu cantik. Bukan, bukan bola matanya yang putih, tapi matanya benar-benar putih. Dia menggerakkan kepalanya sedikit ke bawah, dia tersenyum lebar, pelan, padaku.

Mulutku ternganga saja melihat wajah selembut itu. Seperti es krim vanilla, ingin sekali rasanya menyentuh wajah selezat itu. Lalu dia menyebutkan namanya, “Hayata!” Dia menunjuk dadaku, lalu bertanya, “mau kemana?” Spontan, mulutku tertutup, aku seperti baru saja kena sihir, aku menggelengkan kepalaku. “Raga! Namaku Raga!” Jantungku kenapa begini perih. Aku gugup begini. “Eh, aku mau ke Hayata!” Dia tertawa kecil sambil mengangguk beberapa kali, paham. Aku sadar baru saja yang kukatakan. “EH! BUKAN! BUKAN HAYATA!” Aya tersentak, sedikit terkejut, spontan memalingkan wajahnya padaku. UH! Jantungku seperti baru saja dipukul keras-keras, melihat matanya yang putih menatapku kedua kalinya. Kali ini jantungku berdegup tak keruan. “Iya, iya! Saya tahu!”, katanya sambil tersenyum. Sesuatu di balik badanku mengalihkan perhatiannya, dia melongokkan kepalanya. Senyum di bibirnya perlahan memudar, tetap saja manis meski manyun. Es krim vanilla.

“Memangnya kamu sendiri mau kemana?”, tanyaku sedang detak jantungku kembali menormal. Bis, sepertinya itu yang membuatnya manyun, berhenti tepat di depan kami. Dua orang turun dari bis membawa beberapa keranjang ayam, kenek bis juga membantu menurunkan beberapa barang bawaan sambil menyodorkan keranjang ayam yang terakhir. Aya menutup mulut dan hidungnya. Nampak jelas dia menahan nafasnya. Begitu kedua orang itu menjauh baru dilepasnya kedua tangannya sambil menghembuskan nafas besar-besar dari mulut, poninya berterbangan ditiup. Kali itu aku melihat sebuah senyuman tersirat di mata Aya  yang putih. Semakin putih dari hari ke hari. “Tidak kemana-mana!”, jawabnya.

JJJ

Juga ada di hari lain saat kami berjanji untuk bertemu, tapi dia lupa kalau ayahnya memintanya menggantikan ayahnya menemui beberapa orang untuk membeli tanah di sebuah perkampungan. Dia mengirim pesan padaku, dia minta maaf. Awalnya aku hanya bercanda saja mengirimi balik sebuah pesan. Setiap orang bisa tertawa, bisa menangis, bisa bahagia, dan sedih. Apa semua orang bisa berjanji dan mengingkari? Serentak saja dia meneleponku. “Aku benar-benar lupa. Aku minta maaf tidak bisa tepat waktu. Kamu hanya jangan datang dulu!”, kalimatnya begitu cemas. “Tapi aku sudah di halte menunggu kamu,” jawabku menggodanya. Samar kudengar Hayata menelan ludah diiringi gelegar petir, gemuruh, mendung hari itu. Aya menutup teleponnya. Aku masih duduk di halte, hujan menemaniku, menemani perasaanku yang tiba-tiba jadi merasa bersalah. Tak lama setelah itu, sebuah taksi berhenti tepat di seberang jalan. Seseorang keluar dari dalam taksi. Aya! Aya memalingkan tubuhnya menghadap ke sisi jalan tempat aku terduduk. Dilihatnya kanan kiri, lalu berjalan sayu menapaki zebra cross, mendekat. Aku lantas saja berdiri seketika, sekarang aku jadi terkejut, perasaanku mencemaskan Aya yang tepat berada di hadapanku. Yang tadi itu aku cuma menggoda, tapi pikiranku mungkinkah sama waktu itu dengan Aya? Langkahnya terhenti tepat di luar garis putih jalan. Dia menatapku, tapi aku tidak bisa melihat matanya dengan jelas, tertutupi poni yang basah kerana hujan. Basah kuyub dia berdiri dihadapanku. Baru aku membuka langkahku, dia mengangkat tanganya. Jari-jarinya yang basah gemetar, “jangan mendekat!”, seperti itu. Digenggam ponselnya rapat, kesal.

“Aku hanya memintamu untuk datang agak TERLAMBAT!” Aku melihatnya, matanya yang semakin putih, aku lihat, poninya terbuka saat dia membentakku. Aku jadi terbelalak sendiri, kenapa rasanya ada perasaan kasihan? Aku takut karena membuatnya marah, dan aku juga cemas melihat kedua matanya, semakin hari semakin putih. “Maaf!” Waktu itu cuma ada kami di halte bis, aku menatapnya yang gemetaran  kehujanan. Entah menggigil kedinginan atau menahan kesal. Dia, Hayataku satu-satunya yang paling kucintai.

Maaf! Begitulah kata terakhir  yang aku ucapkan sebelum dia menghilang dariku sebulan itu. Aku jadi lebih sering datang ke rumahnya dan bertanya tentang Hayata. Aku selalu disambut ibunya dan dengan jawaban yang sama, “Aya tidak ada di rumah!” Lima hari akhirnya aku bosan selalu mendapatkan jawaban yang sama, sekarang ini  begitu perih. Awalnya dia tidak menjawab telponku, lalu saja nomornya tidak dapat dihubungi. Akhirnya, aku nekat aku masuk ke kamar Aya, kupanjat sebuah pohon yang menjulangkan dahannya ke jendela kamar Aya. Tidak terkunci. Ponselnya tergeletak di atas meja di samping tempat tidurnya, batereinya low bad. Sebuah foto berfigura terpajang di meja itu. Aku tersenyum begitu melihat orang yang ada di dalam foto. “Raga. Hayata.” Hatiku semakin sesak mengingat kami masih bisa tertawa bersama. Hayata yang aku sayangi. Tapi dia tidak juga ada di sini, sampai saat ini.

TTT

“Pernah dengar afterlife?”, katanya sambil bergelayut di lenganku, manja. Tapi aku suka. “Aflaf. Aslef? Apa?”,”Jangan pura-pura bodoh!”, sedikit cemberut sambil menarik lengan bajuku. Aku tersenyum, “iya, afterlife! Tapi, tidak tahu juga. Manusia dihidupkan lalu dimatikan dan dihidupkan lagi itulah mungkin yang disebut afterlife.” Hayataku seperti berfikir, “Afterlife itu, sebagian orang menganggap adalah surga.”,”Kalau menurut Hayata seperti itu, berarti itu benar!” Dia menggelengkan kepalanya, ditunjuknya sebuah pohon beringin besar di sisi kanan bukit tempat kami berdiri. Diseretnya aku ke tempat beringin kokoh itu berdiri, melewati barisan Asteraceae taraxacum, randa tapak. Setiap kali kusebut bunga-bunga kering putih itu dengan sebutan randa tapak selalu diselanya, dandelion, dandelion, DAN-DE-LI-ON! Dandelion! Mengejakan suku-suku kata itu.“Lihat! Lihat!”, katanya bersemangat ingin menunjukkan keajaiban dunia kedelapan yang cuma dia seorang menemukan, “Nanti! Uh, aku setelah mati nanti aku akan jadi pohon beringin ini. Ini afterlifenya Hayata!”,”Memangnya reinkarnasi bisa memilih begitu yah?”, ejekku. “Tentu saja! Kata Ragakan, kalau aku yakin begini, pasti benar! Wek!” Aku mengangguk saja mendengarnya mengucapkan kalimatku. “Setelah aku mati nanti, jangan lupa kunjungi Aya, yah! Tapi jangan sering-sering kunjungi Aya!”, sepertinya Hayata memohon. “Aku tidak akan pernah melihat pohon beringin ini sendirian nanti!” –FUUU!—wajahku disembur dengan randa tapak. “Aku, kan, tidak suka disembur-sembur begitu!”, “HA,ha ha! Lihat, rambut Raga jadi banyak ketombe begitu!”, “HEH! Kemari kalau berani! Pohon beringin kurus, kesini!”,”Berani bilang Hayata apa?”

ËËË

Sekitar enam minggu aku tidak berjumpa dengannya, rasanya sudah putus asa aku. Aku kembali datang ke rumahnya, kali ini juga dengan jawaban yang sama, tapi sepertinya ibunya cemas. Begitu ibunya masuk ke dalam rumah, aku dengar sesuatu, dari kamar Aya. Kalau Aya benar tidak ada di rumah, kenapa ada seorang perempuan di kamar Aya, bukannya ibu Aya baru saja masuk ke dalam rumah, bukannya Aya tidak punya saudara perempuan? Eh, ibunya keluar lagi. Sepertinya ibunya tidak melihatku ada di halaman samping rumahnya. Lantas, siapa yang ada di kamar Aya? Aku masuk ke kamar Aya, juga seperti kemarin, lewat dahan pohon. Tidak ada yang berubah sejak lima hari yang lalu. Apa Aya benar-benar tidak ada di rumah. Atau dia menghilang? Apa dia pergi dari rumah? Itukah yang membuat ibunya cemas? Aku keluar dari kamarnya, mencari anak perempuan yang barusan aku lihat. Kudengar seseorang menghidupkan keran air. Sepertinya dari kamar kecil di samping kamar Aya. Kubuka pintu geser di sana.

Dibasuh wajahnya dengan air yang menetes di sela-sela jarinya. Wajahnya yang basah, matanya yang terpejam. Dia memalingkan wajahnya, mungkin karena pintu terbuka. Hayata, matanya terbuka menatapku, lalu saja wajahnya seakan ingin mengatakan, “aku benci dan mencintaimu!”, wajahnya pucat. Aku terperangah, begitu tersadar kututup pintu secepat aku ingat. Sepertinya sudah lama tidak kulihat mata putih itu menatapku. Hari-hariku yang tak pernah ingin kuungkap, bagaimana kucinta, aku hanya ingin Aya, Hayata seorang. Kugenggam dadaku, jantungku berdegub kencang lagi, sama seperti pertama kulihat Aya.

°°°

Waktu itu juga. Dia menjemputku sepulang sekolah. Dia melambaikan tangannya sambil tersenyum. Rasanya ingin kuhentikan waktu untuk selama-lamanya agar aku bisa melihat terus senyumannya. “Kenapa tersenyum begitu lebar? Baru melihat orang tampan, yah?”,”Orang tampan? Tampan itu apa?”, tanyanya menggodaku. “Heh! Masih bertanya tampan itu apa.”, kupilin rambut lurusnya yang terurai hari itu, ditiupnya tanganku, jijik, aku mengernyitkan dahi. “Cari saja di google search, ketik kata tampan. T-A-M-P-A-N! Pasti….. aku nggak ada!”, “Hmm!”, berdehem sambil memasang tampang mengerti. Kucubit pipinya, “Ayo tertawa!”, lalu saja dia tersenyum, tertawa kecil. Dia, sepertinya senang. Matanya juga tersenyum, bahagiakah? Bahagiakah dia? Rasanya aku seperti di puncak dunia.

“Beberapa hari sebelum pertama kali aku bertemu dengan kamu, ada simponi yang kudengar. Semakin hari, semakin terdengar jelas. Begitu kamu duduk di sampingku, tiba-tiba saja simponi itu berhenti terdengar, lalu kulihat ada kamu di sana. Saat kamu bicara padaku saat itu, maupun aku bicara padamu saat ini, aku mendengar simponi yang lembut, simponi yang berbeda.”, katanya menyakinkanku. “Aku. Aku rasa, aku tidak tahu apapun tentang musik!”, “Aku juga! Tapi cobalah mendengarkannya, apa hanya aku yang mendengarnya?”, wajahnya memelas manyun. “Apa mungkin suara-suara yang timbul tenggelam itu?”, Aya mengangguk beberapa kali lalu senang, Aya menutup mataku dengan kedua tangannya, “Aku kadang mendengarnya, tapi aku lebih sering mencoba mengabaikannya, aku pikir hanya pikiranku saja atau……..” aku diam, sesuatu membungkam mulutku. Sesuatu yang lembut dan hangat mendapatkan bibirku, begitu manis saat bibir Aya melepaskan kehangatan itu. Kubuka mataku dan masih tetap diam. Huuh…., aku benar-benar diam, terbungkam, aku lihat Aya berjalan menuju pohon beringin di sisi bukit. Ditangkapnya sehelai daun yang baru saja jatuh dari lengan sang Kokoh. Dia menoleh padaku, sambil tersenyum. “Akhirnya aku bisa berbagi simponi itu!”, katanya meleburkan hatiku yang terbekuk, senyumnya yang amat bahagia.

Sore, saat kuantar Aya pulang, “seragam sekolah seperti ini!” ditariknya celana abu-abuku. “Sampai kapan akan kamu pakai? Memangnya belum cukup, yah, bersenang-senangnya?”. “Bersenang-senang apa?”, tanyaku begitu. “Yah! Bersenag-senang! Mana aku tahu kehidupan anak usia 17 tahun di masa SMA! Aku kan selalu ikut program akselerasi.”, “Iya! Di usia 16 tahun begini saja sudah lulus SMA! Hebat! Memang hebat!”. Matanya melirik nakal sambil tertawa kecil. “Kalau kita berpisah nanti!”, aku menatapnya hampir marah, “Awas kalau pacarmu nanti lebih jelek dari aku!” kami saling bercerita pacar impian masing-masing, tapi kalimat itu saja, seperti tidak bisa hilang dari ingatanku.

◊◊◊

Seseorang menaiki tangga. Seorang laki-laki menegurku, “ kalau mau pakai toilet, langsung masuk saja!” Ayah Aya, sama cemasnya dengan ibu Aya, tapi tidak sepanik itu. “Di dalam ada Hayata, Aya!”, “Aya?” Lantas saja kubuka pintu toilet memastikan pada ayahnya. Aya! Tidak seorang pun di sana. Kerannya pun tertutup rapat. Kucoba pastikan kalau Aya benar-benar di sini tadi, tapi closetnya juga kering. Lalu, Aya? Aya, siapa yang baru saja kulihat. “Jadi, kamu ini Raga?”, aku mengangguk, pertama kalinya aku berkenalan dengan ayahnya. “Tapi, apa benar kamu ini pacar Aya? Kenapa tidak pernah berkunjung ke rumah sakit saat Aya sakit?”, “Aya sakit?”, “Tapi sekarang Aya tidak ada di rumah sakit! Sudah dua hari ini Aya menghilang.”, “Aya. Saya akan cari tahu Aya dimana.”. “Kalau bertemu dengan Aya, bawa Aya kesini saja!” “Kenapa tidak dibawa ke rumah sakit?”, ayahnya, sepertinya aku tahu dari mana Aya dapatkan senyuman sehangat itu. “Mungkin rumah ini bisa jadi tempat yang paling baik untuk Aya.”

Lalu saja aku berlari keluar dari rumah Aya. Aku berlari mencari taksi, sampai di persimpangan. Di perempatan, selangkah aku urungkan kakiku melangkah ke jalan, aku berpaling ke belakang. Kudengar sebuah simponi menjerit seperti memanggilku. Sebuah truk gandeng besar menerobos lampu merah. Suara klaksonnya memekakkan telingaku, membuyarkan simponi yang kudengar. Kutoleh kembali jalanan, sebuah motor polisi mengejar truk merah besar itu. Tadi itu apa? Apa aku hampir mati? Aku sempat rasakan angin begitu terjal menggaruk punggungku, saat truk itu melintas tepat di belakangku. Hanya beberapa inchi.

Nafasku terengah-engah mengejar bayangan pohon beringin besar sial itu. Seseorang tergeletak di rerumputan. Aya! Ayakah itu? Kini, nafasku mulai teratur. Aku berjalan pelan menghampirinya. Aya. Iya, benar Hayata. Matanya terpejam, lalu aku berbaring di sampingnya, aku tak berhenti menatap wajahnya yang lembut. Hayata membuka matanya yang putih, aku jadi tersenyum. Hatiku juga tersenyum. Tapi aku hanya diam, Hayata juga diam. Lama kami terdiam, terbaring dipeluk bayangan dedaunan beringin besar ini. Malam ini tidak ada satupun bintang. Kabarnya akan ada badai besar melewati daerah kami. Malam ini gelap. Seperti aku akan kehilangan sesuatu.

“Sepertinya aku sedih,” kupikir Aya menungguku memulai percakapan, tapi dia sedikit terkejut. “Eh!”, kemudian dia menggeleng. “Kenapa harus sedih? Bukannya malam ini begitu damai.”, “Menurutmu ini malam yang indah?”, aku hanya mncoba memastikan. “Tentu saja! Kamu bisa lihat bintang-bintang di sana, kan?” Tapi dia tidak menunjuk kemanapun. Secepat itu aku bangun, kutatap matanya, sepertinya dia melihat langit, sekarang aku ada di atasnya, dia tidak melihatku? Tatapannya kosong. Sekarang, matanya putih, putih seluruhnya, lebih putih dari saat dia marah padaku. Aku mencoba berpikir keras. Kenapa dia tidak pulang ke rumah, dia tidak mengetahui keberadaanku, mengira malam ini penuh dengan bintang, juga tatapan kosongnya!

“Sepertinya aku bermimpi. Wajahku begitu segar sekarang ini!” Aku tetap berdiri memandang wajahnya di bawahku, “aku seperti baru saja membasuh wajahku. Tadi aku juga bermimpi bertemu dengan Raga. Sebuah truk hampir menabrak Raga yang sedang lari. Aku berteriak memanggil nama Raga, tapi kamu cuma berdiri. Tapi, sekarang Raga ada di sini. Semua itu ternyata cuma mimpi. Tidak ada truk, kecelakaan.” Aku menggenggam bahunya, tapi dia menolak dibangunkan. Matanya tetap terbuka dan aku tidak bisa melihatnya terbaring begini. Bajunya sama basahnya dengan rerumputan di sini. “Kamu baru saja sekarat?” aku hampir menangis mengatakan kalimat itu. Tapi dia hanya tersenyum. “Memangnya ada hal baik yang patut diberi senyuman?”, aku kenapa meluapkan emosi seperti ini. “Kau dengar itu?” dia meraba wajahku, aku tidak juga percaya kalau Aya, Hayata, sudah menjadi, buta, “Simponi itu terdengar lagi!”, katanya lagi menyakinkan aku. “Apa itu simponi yang semakin jelas kau dengar? Simponi yang berhenti saat aku duduk tepat disampingmu?” kali ini aku benar-benar menangis. Hayata mengangguk dan tersenyum lagi, dan lagi tersenyum, semakin lebar. Dia tahu aku menangis. Sambil terisak, kugenggam tangannya yang mendingin. “Jangan pergi! Jangan!”

“Aya, kan, tidak kemana-mana!”

“Aku harus bagaimana kalau tidak ada Aya?”

“Lakukan saja yang seharusnya dilakukan!”, aku terus menangis, sampai dia memintaku berbaring di  sampingnya. Kepalanya dilekatkan dengan kepalaku, “Jangan pacaran dengan orang yang lebih jelek dariku, ya!” Dia berusaha merangkul bahuku, dicium pipiku yang basah. Diletakkan kepalanya di bahuku. “Raga akan baik-baik saja!”

Pohon beringin ini masih saja kokoh seperti tahun lalu. Aku panjat beringin sial ini dan aku telah menemukan jawabannya. Hanya pohon ini yang tersisa, dari badai malam itu. Aku juga masih kesal. Dari mana dia tahu aku akan baik-baik saja. Membuka mata saja, dia tidak sanggup lagi. Matanya yang putih maka namanya adalah Hayata, atau karena hayata berarti putih, dia juga miliki mata yang putih. Putih, seputih dandelion yang kembali tumbuh menemani pohon beringin sial ini di sini. “DANDELION!”

Hayata….. Hayata…..

JJJJJJJJTTTTTTTTËËËËËËËË°°°°°°°°◊◊◊◊◊◊◊◊

Leave a comment